Minggu, 12 Januari 2014

Sejarah Alkitab I - Prolog


Assalamualaykum....

Setelah sekian lama absen dalam kegiatan tulis-menulis di blog ini, kali ini saya kembali menemukan hasrat menulis saya setelah lama berkutat dengan buku Karen Armstrong yang berjudul SEJARAH ALKITAB. Dalam bukunya tersebut, Armstrong benar-benar menyajikan sebuah pemahaman dan sejarah yang jarang, bahkan hampir tidak pernah, kita temui dalam buku-buku lainnya. Dalam buku tersebut Armstrong mendiskusikan kelahiran, perkembangan, dan sejarah hidup kitab paling terkenal ini. Telaah historis yang dilakukannya mampu membuat saya berimajinasi tentang zaman permulaan Nasrhani. Sebuah tulisan yang bagi saya pribadi sangat netral dan akuntabel, baik dari segi sejarah, fakta maupun analisa perseorangan.

Jadi, silahkan siapkan cemilan dan kopi anda, mari kita menjelajahi sejarah Kitab yang paling banyak dibaca di seluruh dunia, mungkin ini akan saya sajikan secara berseri, mengingat dalam setiap bab di buku tersebut, menyajikan tulisan yang sangat panjang dan dalam, jadi In Syaa Allah, saya akan kupas satu persatu, dilengkapi (ditambahi) dengan pandangan saya pribadi sekaligus pemahaman saya terhadap tulisan Armstrong dalam setiap bab.
Welcome back again in Der Wissen........



·       PROLOG
Kitab Suci merupakan unsur penting dalam usaha dan hidup keagamaan. Dalam hampir semua agama besar, orang memandang teks tertentu sebagai teks suci dan secara ontologis berbeda dengan dokumen-dokumen lainnya. Mereka telah memberi bobot terhadap tulisan-tulisan ini dengan muatan cita-cita mereka yang tertinggi, harapan yang paling luar biasa, dan ketakutan yang paling dalam; ajaibnya lagi, sebagai imbalannya, teks-teks itupun telah memberi mereka sesuatu. Para pembaca menemukan di dalam tulisan-tulisan ini apa yang tampaknya seperti sebuah kehadiran, yang telah mengantar mereka ke suatu dimensi yang transenden. Mereka telah melandaskan hidup mereka pada kitab suci, baik secara praktis maupun spiritual, dan juga secara normal. Ketika teks-teks suci mereka menceritakan kisah-kisah, umumnya dipercaya bahwa itu benar, tetapi sampai baru-baru ini keakuratan harafiah atau historis belum menajdi sesuatu yang penting. Kitab suci kaum Buddha misalnya, memberi para pembaca informasi tentang kehidupan Buddha, tetapi kitab itu hanya mencakup peristiwa-peristiwa yang memperlihatkan kepada kaum Buddha apa yang harus mereka lakukan untuk mencapai pencerahan mereka sendiri.

Dewasa ini, kitab suci mempunyai nama atau citra yang buruk. Teroris memakai Al-Quran untuk membenarkan kekejamannya; sementara orang menuduh narasi kekerasan yang terkandung dalam kitab suci mereka menyebabkan kaum Muslim terus menerus agresif. Orang Kristiani menyerang ajaran teori evolusi karena teori tersebut bertentangan dengan teori penciptaan biblis. Orang Yahudi lain lagi, oleh karena Allah telah menjanjikan Kanaan (orang Israel modern) bagi keturunan Abraham, maka kebijakan opresif melawan orang-orang Palestina adalah sah-sah saja. Telah terjadi kebangkitan kembali kitab suci yang mengganggu kehidupan publik. Para penentang agama yang berhaluan sekuler mengatakan kitab suci justru membiakkan kekerasan, sektarianisme, dan in-toleransi; ia (kitab suci) mencegah orang orang untuk berpikir mandiri, dan mendorong munculnya khayalan. Kalau agama mewartakan belas kasih, mengapa ada sedemikian banyak kebencian di dalam teks-teks suci? Mungkinkah untuk tetap menjadi “orang beriman” dewasa ini sementara sains justru menggerogoti sedemikian banyak ajaran biblis.

Karena kitab suci telah menjadi persoalan yang sedemikian mendesak, Armstrong memandang perlunya pemahaman yang lebih mendalam tentang kitab suci itu sendiri. Bukan hanya sekedar definisi, tapi juga seajrah dan perkembangannya hingga dizaman modern ini. Bagi Armstrong sangat penting, misalnya, untuk mencatat penafsiran yang sangat harafiah atas Alkitab adalah sebuah perkembangan baru. Sampai abad ke-19, sangat sedikit orang membayangkan bahwa bab pertama Kitab Kejadian merupakan kisah yang sesungguhnya mengenai asal-usul kehidupan. Selama berabad-abad, orang-orang Yahudi dan Kristian sangat menyukai eksegese yang bercorak alegoris dan inventif, seraya menandaskan bahwa pembacaan yang harafiah atas Alkitab adalah tidak mungkin dan juga tidak diinginkan. Mereka juga telah menulis kembali sejarah biblis, menggantikan kisah-kisah Alkitab dengan mitos-mitos baru, dan menafsirkan bab pertama Kitab Kejadian dengan cara-cara yang sangat berbeda dan mengagumkan, ini dibahas oleh Armstrong dengan sangat cermat, berkaca dari referensi dan catatan-catatan kuno tentang eksegese Injil itu sendiri.


Kitab suci Yahudi dan Perjanjian Baru sama-sama dimulai sebagai pewartaan lisan; bahkan setelah ditulis pun sering kali ada prasangka terhadap sabda yang terucap, yang juga hadir, atau ada dalam tradisi-tradisi yang lain. Sudah sejak semula, orang takut bahwa kitab suci yang tertulis justru bisa memunculkan kekakuan dan kepastian yang tidak realistis dan berlebihan. Pengetahuan keagamaan tidak bisa ditanamkan seperti halnya informasi yang lain, misalnya membaca sekilas halaman-halaman dari kitab suci tersebut. Pada mulanya dokumen-dokumen itiu menjadi “kitab suci” bukan karena mereka dibayangkan sebagai teks-teks yang diilhami secara ilahi,melainkan karena orang mulai memperlakukan mereka secara berbeda. Tentu saja ini benar menyangkut teks-teks awal dari Alkitab, yang baru menajdi suci ketika didekati dalam konteks ritual; konteks itulah yang membuat mereka terpisah dari kehidupan biasa dan cara-cara berpikir sekuler.

Orang Yahudi dan Kristiani memperlakukan kitab suci mereka dengan sebuah penghormatan seremonial. Gulungan Kitab Taurat merupakan benda paling suci di dalam sinagong; gulungan itu dibungkus dalam bungkusan berharga, lalu disimpian dalam sebuah ‘tabut’, ia barulah disingkapkan pada puncak perayaan liturgi, pada saat itulah gulungan tadi diedarkan berkeliling kepada jemaaat yang hadir. Mereka pun menyentuhnya dengan jumbai-jumbai dari selendang doa mereka. Beberapa orang Yahudi bahkan menari dengan gulungan itu, seraya memeluknya laksana sebuah benda yang sangat dikasihi. Orang Katolik juga membawa Alkitab di dalam perarakan suci, men-dupa-inya juga dengan kemenyan yang harum semerbak mewangi, dan mereka akan berdiri jika teks tersebut dibacakan, seraya membuat tanda salib di kening, bibir dan dibagian tengah dada mereka. Dalam komunitas Protestan, pembacaan Alkitab merupakan titik puncak dari upacara kebaktian suci. Tetapi bahkan yang lebih penting ialah tata tertib spiritual yang mencakup berbagai hal. Sudah sejak semula Alkitab tidak hanya mempunyai satu pesan tunggal. Ketika para editor menetapkan kanon dari perjanjian Yahudi maupun Kristiani, mereka menggabungkan di dalamnya pandangan-pandangan di dalamnya yang saling bersaing dan menempatkan mereka, tanpa keterangan apapun, yang satu dismaping yang lain. Menurut istilah yang saya baca di buku karangan Frank Moore Cross yang berjudul Canaanite Myth and Hebrew, ini menjadi semacam persaingan terbuka antara Kristiani awal dengan Yahudi, jadi sudah sejak semula pengarang biblis merasa bebas untuk merevisi teks-teks yang telah mereka warisi dan memaknai teks-teks itu secara lain sama sekali. Lebih jauh, para ekseget memandang, bahwa Alkitab adalah sebagai sebuah papan model bagi masalah-masalah di zaman mereka.




Alkitab itu ‘terbukti’ suci adanya karena orang terus-menerus menemukan cara-cara baru untuk menafsirkannya dan mereka juga menemukan bahwa serangkaian dokumen-dokumen yang sulit dan sudah berusia tua ini justru bisa memancarkan terang pada situasi-situasi yang bahkan tidak pernah dibayangkan oleh orang-orang yang mengarang teks-teks itu dahulu. Sebagaiaman yang kita lihat, orang Yahudi dan Kristiani mengembangkan sebuah metode studi Alkitab yang mengaitkan satu sama lain teks-teks yang tidak mempunyai kaitan intrinsik apapun. Dengan terus-menerus merobohkan aral pelintang perbedaan tekstual, mereka pun bisa mencapai coincidentia oppositurum ekstatik, suatu pengalaman yang juga hadir di dalam tradisi-tradisi skriptural yang lain. Ketika orang Yahudi dan Kristiani mencoba menemukan kesatuan di dalam kitab suci mereka yang paradoksal dan bermacam-macam, mereka juga mempunyai intuisi akan kesatuan ilahi.


Semula, orang Israel telah mencapai keadaan ekstasis ini di dalam Bait Allah di Yerusalem, yang memang dirancang sebagai sebuah replika simbolis Taman Eden. Disana mereka mengalami shalom, sebuah kata yang biasanya diterjemahkan sebagai ‘damai’, tetapi sebenarnya, menurut Armstrong, lebih baik diterjemahkan sebagai ‘keseluruhan’ atau ‘keutuhan’. Ketika Bait Allah mereka sudah dihancurkan, mereka pun harus mencoba mencari sebuah cara baru untuk menemukan shalom itu dalam dunia yang tragis dan keras. Dua kali Bait Allah mereka dibakar hingga rata dengan tanah; dan setiap kali peristiwa penghancurannya itu mengarah ke sebuah kurun aktivitas pembacaan Alkitab yang sangat bersemangat, tatkala mereka mengupayakan penyembuhan dan harmoni di dalam dokumen-dokumen yang kelak akan menjadi Alkitab.



Nah, semoga dengan prolog ini, para pembaca bisa mendapat sedikit panduan dan pemahaman historis sebalum kita benar-benar masuk dalam pembahasan Alkitab nanti. Mudah-mudahan, tulisan diatas mampu menjadi pengantar di sekuel tulisan saya berikutnya.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar