Kamis, 16 Januari 2014

Sejarah Alkitab II - Taurat


Assalamualaykum...

Setelah pada tulisan saya sebelumnya telah saya sampaikan pengantar tentang sebuah makna Kitab Suci dan mukadimahnya, kini kita akan memasuki sejarah Kitab Suci tertua di antara 3 agama Samawi. Ya, TAURAT akan kita kupas disini, mulai dari sejarah awal dan perkembangannya. Tentu saja dengan berbagai kisah yang berhasil dirangkum oleh Karen Armstrong dalam bukunya tersebut.

Agak seru memang, ketika kita mengikuti sedari awal bagaiamana sejarah Taurat. Bila kita (umat Islam) hanya mengenal Moses alias Nabi Musa alaihissalam sebagai penyebar Taurat, maka bersama Armstrong kita bisa lebih banyak tahu mengenai tokoh-tokoh lama Bani Israel yang ikut dalam ekspedisi Sungai Nil bersama Musa.

So, mari siapkan cemilan dan kopi anda...
Welcome to Der Wissen......................



Pada 597 SM, sebuah negara kecil bernama Yehuda di dataran tinggi Kanaan memutuskan perjanjian dalam statusnya sebagai raja bawahan dengan Nebukadnezar, raja agung dari Kekaisaran Babilonia yang sangat kuat. Itu adalah sebuah kekeliruan yang mendatangkan bencana amat besar. Tiga bulan kemudian, bala tentara Babilonia datang meyerbu Yerusalem, ibu kota Yehuda. Sang Raja muda serta merta menyerah dan diapun dibuang ke Babilonia, bersama dengan sepuluh ribu warga yang selama ini telah membuat negara Yehuda mampu bertahan hidup: para imam, pemimpin militer, ahli pertukangan, dan pandai besi. Tatkala mereka akan meninggalkan Yerusalem, kaum buangan itu kiranya masih sempat menoleh untuk melihat terakhir kalinya Bait Allah yang dibangun diatas Bukit Sion oleh Raja Salomo alias Nabi Sulaiman alaihissalam pada sekitar 970-930 SM; Bait Allah itulah yang menjadi pusat ousat kehidupan nasional dan spiritual mereka selama ini; tetapi sekarang mereka menjadi sedih karena sadar bahwa mereka tidak akan pernah bisa melihatnya lagi. Dan ternyata, apa yang mereka takutkan itu menjadi kenyataan: pada 596 SM, setelah mucul sebuah pemberontakan lagi di Yehuda, Nebukadnezar menghancurkan Yerusalem dan membakar Bait Allah hingga rata dengan tanah.


Kaum buangan itu sesungguhnya tidak diperlakukan dengan buruk di Babel. Sang Raja diberi fasilitas perumahan yang nyaman, lengkap dengan rombongan para pengiringnya di sebelah selatan benteng kota, dan kaum buangan yang lain tinggal bersama-sama di sebuah permukiman baru di tepi kanal dan mereka pun diizinkan untuk mengelola urusan rumah tangga mereka sendiri. Tetapi, mereka telah kehilangan negara, kemerdekaan politis dan agama mereka. Mereka itu termasuk bangsa Israel dan percaya bahwa Yahweh Tuhan mereka telah berjanji bahwa jika mereka hanya menyembah Dia semata-mata, mereka akan hidup di negeri mereka untuk selama-lamanya. Bait Allah Yerusalem, dimana Yajweh telah sudi berdiam diantara umat-Nya, adalah sesuatu yang sangat penting dalam kultus pemujaan akan Yahweh itu. Tetapi, kini mereka berada di sebuah negeri yang asing, dan jauh dari Yahweh itu sendiri.

Lima tahun setelah tiba di Babilonia, seraya berdiri di tepi Sungai Kebar, seorang imam muda bernama Yehezkiel mengalami sebuah penglihatan yang dahsyat dan mengerikan. Tidaklah mungkin untuk dapat melihat sesuatu secara jelas karena tidak ada sesuatu pun di dalam pusaran badai api dahsyat dan suara gemuruh ini yang sesuai dengan kategori-kaegori pengalaman manusia biasa, dan Yehezkiel pun tahu bahwa dia sedang berada di dalam kehadiran kavod (kabod), yaitu ‘kemuliaan’ Yahweh, yang biasanya berkata di ruang bagian dalam yang mahakudus dari Bait Allah itu. Allah telah meninggalkan Yerusalem dan, dengan mengendarai apa yang tampak seperti sebuah kereta perang berukuran raksasa, telah datang untuk berdiam bersama kaum buangan di Babilonia. Lalu, ada sebuah tangan terentang ke arah Yehezkiel yangs edang memegang sebuah gulungan kitab, yang di dalamnya penuh ditulisi dengan “nyanyia-nyanyian ratapan, keluh kesah, dan rintihan” (Yehezkiel 2:10). “... makanlah gulungan kitab yang kuberikan ini kepadamu dan isilah perutmu dengan itu.” Ketika dia memaksakan diri untuk menelannya, seraya menerima dan mengalami kepedihan dan kemalangan nasibnya sebagai orang buangan, Yehezkiel pun tahu bahwa hal itu “rasanya manus seperti madu dalam mulutku.”

Itu adalah detik-detik yang mengandung nubuat kenabian. Kaum buangan masih akan tetap merindukan Bait Allah mereka yang hilang, karena kawasan Timur Tengah pada saat itu, tidaklah mungkin membayangkan agama tanpa Bait Allah. Laksana gulungan kitab yang ditelan Yehezkiel, pesannya pun sering tampak menyusahkan dan membingungkan. Tetapi, ketika mereka berupaya keras untuk meresapi dan memahami teks tersebut, mereka akan merasa bahwa mereka telah masuk ke dalam hadirat Allah-sebagaimana yang dahulu mereka alami dan rasakan ketika mengunjungi tempat suci-Nya di Yerusalem.


 Namun memerlukan waktu hingga bertahun-tahun sebelum Yahwisme menjadi sebuah agama kitab. Kaum buangan telah membawa serta sejumlah gulungan kitab dari arsip-arsip istana kerajaan di Yerusalem bersama mereka ke Babilonia, dan disana mereka mempelajarinya dan meng-edit dokumen-dokumen ini. Jika mereka diizinkan kembali ke kampung halamannya kelak, catatan-catatan sejarah dan kultus dari rakyat mereka ini akan memainkan peranan penting dalam upaya pemulihan dan pembangunan kembali kehidupan berbangsa mereka. Awalnya para ahli penulis kitab tidak memandang tulisan dalam dokumen-dokumen ini adalah sesuatu yang keramat, sehingga mereka merasa bebas untuk menambah-kurangi teks dan tulisan agar cocok dengan situasi mereka yang berubah-ubah.  Hal ini dikarenakan oleh saat itu mereka belum memiliki gagasan mengenai teks suci. Orang Israel, layaknya orang di zaman itu, selalu mewariskan tradisi-tradisi mereka secara lisan (dari mulut ke mulut). Pada masa-masa awal dari hidup kebangsaan mereka, yaitu sekitar 1200 SM, mereka hidup dalam 12 kesukuan di dataran tinggi Kanaan, walaupun begitu mereka yakin dan percaya bahwa ke-12 suku ini memiliki sejarah dan leluhur yang sama. Pada tahap yang sangat dini ini, Umat Israel sudah mempunyai pandangan religius yang khas. Sebagian besar orang dizaman itu mengembangkan sebuah mitologi dan liturgi yang berpusat pada dunia para dewa pada awal mula dahulu, tetapi orang Israel memusatkan kehidupan mereka kepada Yahweh di dunia ini.

Dari fragmen-fragmen semula yang terendap dalam kisah-kisah biblis yang lebih kemudian, dapat disimpulkan bahwa orang Israel percara para leluhur mereka adalah bangsa nomaden. Yahweh telah menuntun mereka ke Kanaan, dan berjanji bahwa kelak kaum keturunan mereka akan memiliki tanah itu. Selama bertahun-tahun mereka menjadi budak di Mesir dan mengalami penyiksaan yang sangat berat, sebelum akhirnya Yahweh, lewat tangan Musa, menyelamatkan mereka dengan melakukan banyak tanda dan keajaiban, serta menuntun mereka untuk kembali ke Tanah Terjanji. Tetapi, saat itu belum ada kisah utama: masing-masing wilayah memiliki pahlawan lokal yang khas. Para imam di Dan, wilayah utara yang paling jauh, misalnya, percaya bahwa mereka berasal dari Musa; Abraham, bapa seluruh bangsa, telah tinggal di Hebron dan secara khusus dia populer di daerah selatan. Di Gilgal, suku-suku setempat merayakan masuknya Israel secara ajaib dan mengagumkan ke Tanah Terjanji, yaitu tatkala air Sungai Yordan secara ajaib terbelah menjadi dua sehingga mereka bisa menyebrang. Orang di Sikhem membuat pembaharuan setiap tahun terhadap perjanjian antara Yoshua dengan Yahweh setelah dia berhasil menaklukan Kanaan.

 Namun, kira-kira pada 1000 SM, sistem kesukuan tersebut sudah tidak lagi memadai; karena itu, orang Israel pun membentuk dua kerajaan di Kanaan, yaitu kerajaan Yehuda di selatan dan kerajaan Israel yang lebih besar di utara. Dari sini dimulailah penghapusan pesta-pesta ala Perjanjian Lama, dan para masyarakat lebih memilih peng-kultusan kepada para raja masing-masing. Yang mengagumkan adalah, pada saat pemahkotaannya, raja diangkat oleh Yahweh menjadi seoarang ‘anak Allah’ dan anggota Dewan Illahi Yahweh yang terdiri atas para penghuni surgawi. Kita hampir tidak tahu apa-apa tentang upacara suci (kultus) kerajaan utara karena para sejarahwan biblis lebih condong kepada pembahasan kerajaan Yehuda, tetapi banyak yang dari mazmur yang kemudian dimasukkan ke dalam Alkitab dahulunya dipergunakan dalam liturgi Yerusalem dan memperlihatkan bahwa orang-orang Yehuda dulu sesungguhnya juga dipengaruhi oleh kultus Baal dari daerah-daerah tetangga di Syria, yang juga mempunyai mitologi kerajaan serupa. Yahweh telah membuat sebuah perjanjian yang tidak bersyarat dengan Raja David alias Nabi Daud alaihissalam, pendiri Dinasti Yudea, dan telah berjanji bahwa kaum keturunannya akan memerintah di Yerusalem untuk selama-lamanya.

Demikian untuk seri 1 Bab Taurat kali ini, semoga dapat menjadi pembuka bagi tulisan saya berikutnya dan mampu menjadi pengantar historis bagi seri-seri selanjutnya.

Sebagai bocoran, untuk seri selanjutnya saya akan masuk ke sejarah Taurat saat sudah ‘menjadi’ Kitab Suci, dan bagaiamana perkembangan perubahan yang terjadi hingga masa-masa transisi ke zaman Nashrani awal.

3 komentar:

  1. Dapat pencerahan dan pengetahuan mas
    thank's :-)

    BalasHapus
  2. di tunggu episode selanjutnyaa
    HeHeHe

    BalasHapus
  3. Siap mas Arya, matur suwun sudah berkunjunung dan meninggalkan jejak di blog saya...
    :D
    Salam Kenal..
    :)

    BalasHapus