Senin, 16 Juni 2014

13 Sins, Ketika Manusia Menjadi Monster



Film ini sungguh masterpiece. Awalnya saya kira ini adalah film psikopat seperti SAW, Evil’s Dead atau The Human Centepide, yang kaya akan adegan sadis dan menjijikan, penuh darah dan brutal. Tapi, meskipun ada, ternyata ini film sangat ilmiah dan kental aroma konspirasinya. Mengajak kita menerka-nerka dan berfikir tentang bagian demi bagian adegan di film besutan Daniel Stamn ini.

Ada beberapa poin yang (menurut saya) menjadi daya jual film ini. Secara cerita, film ini lumayan mengagetkan juga, berkisah tentang seorang jobless yang harus menanggung beban begitu berat karena kekasihnya hamil, selain itu dia harus menghidupi adiknya yang memiliki keterbelakangan mental. Setelah dipecat dari pekerjaannya,secara misterius dia ditelpon seseorang yang menawarkan hadiah uang untuk setiap tantangan yang bisa dia lalui. Awalnya dia hanya disuruh untuk membunuh lalat dengan harga $1000, lalu memakannya untuk uang tunai $2662, hingga hadiah dari setiap tantangan terus naik untuk hal-hal yang semakin tidak masuk akal, seperti mengajak mayat minum kopi, lalu membakar gereja, hingga menyanyikan hymne komunis saat acara publik.

13 tantangan harus diselesaikan guna mendapatkan hadiah uang tunai, dan membersihkan kejahatan yang telah dia lakukan di tantangan-tantangan sebelumnya. Dari situ, si ‘pemain’ akhirnya tidak bisa lepas dan mau tidak mau harus menuruti tantangan-tantangan dari Sang Misterius berikutnya, yang ironisnya semakin sadis dan keji. Hingga akhirnya di tantangan ke 13, si ‘pemain’ harus membunuh salah satu anggota keluarganya sendiri. Disinilah saya dibuat terkejut, karena si adik yang cacat mental ternyata juga mengikuti permainan ini, begitu pula ayahnya, yang ternyata sudah menjadi pemenang setelah menjalankan tantangan ke 13 untuknya yaitu membunuh istrinya sendiri.


Yang membuat saya semakin tersenyum puas setelah melihat film ini adalah bagian kosnpirasinya. Yang pertama adalah sebuah sekte sesat (yang menjadi payung Sang Misterius) bernama/bermoto SALTATIO CUM BUFO AURUM, AD GANDI CUM DEORUM. Sekte ini berlambang kan sebuah Kodok Emas, dan disebutkan bahwa si pemain harus menari bersama Kodok Emas jika ingin memenangkan uang hadiah tersebut. Bukan dari golongan Katolik, terbukti dengan salah satu tantangan untuk membakar gereja, mengindikasikan sekte ini bia jadi seperti Kabalah/Pagan.

Berikutnya adalah, di awal film ini ada adegan bahwa semua kejadian besar di dunia ini dilakukan oleh si pemain. Dari Athena pada tahun 1600-an, hingga terakhir peta menunjukkan kota Sidney. Bahkan, saat mendekati akhir film, diperlihatkan kasus pembunuhan JFK juga termasuk kedalam ‘permainan’ ini.

Bagi sebagian orang yang paham dan suka dengan sejarah konspirasi, tentu tidak asing dengan berbagai macam aksi sabitase yang telah dilakukan dari zaman ke zaman. Hal ini lah yang setidaknya mengajak kita berfikir lewat film ini, bahwa tidak ada yang namanya kebetulan. Bahwa selalu ada orang-orang ‘khusus’ yang mampu dan bisa merencanakan sesuatu yang besar untuk terjadi di dunia ini.


Well, secara keseluruhan, ini film wajib tonton buat temen-temen yang suka and hobi sama yang namanya Teori Konspirasi dan cerita detektif, meskipun pemainnya bukan bintang kaliber Hollywood, tapi secara plot mendekati trilogy Dan Brown, dan bagi saya sedikit lebih baik dari National Treasure.


‘Terkadang, beberapa orang di planet ini benar-benar menentukan segalanya. Satu persen dari satu persen. Fungsi mereka setara dengan Tuhan…..’

Kamis, 16 Januari 2014

Sejarah Alkitab II - Taurat


Assalamualaykum...

Setelah pada tulisan saya sebelumnya telah saya sampaikan pengantar tentang sebuah makna Kitab Suci dan mukadimahnya, kini kita akan memasuki sejarah Kitab Suci tertua di antara 3 agama Samawi. Ya, TAURAT akan kita kupas disini, mulai dari sejarah awal dan perkembangannya. Tentu saja dengan berbagai kisah yang berhasil dirangkum oleh Karen Armstrong dalam bukunya tersebut.

Agak seru memang, ketika kita mengikuti sedari awal bagaiamana sejarah Taurat. Bila kita (umat Islam) hanya mengenal Moses alias Nabi Musa alaihissalam sebagai penyebar Taurat, maka bersama Armstrong kita bisa lebih banyak tahu mengenai tokoh-tokoh lama Bani Israel yang ikut dalam ekspedisi Sungai Nil bersama Musa.

So, mari siapkan cemilan dan kopi anda...
Welcome to Der Wissen......................



Pada 597 SM, sebuah negara kecil bernama Yehuda di dataran tinggi Kanaan memutuskan perjanjian dalam statusnya sebagai raja bawahan dengan Nebukadnezar, raja agung dari Kekaisaran Babilonia yang sangat kuat. Itu adalah sebuah kekeliruan yang mendatangkan bencana amat besar. Tiga bulan kemudian, bala tentara Babilonia datang meyerbu Yerusalem, ibu kota Yehuda. Sang Raja muda serta merta menyerah dan diapun dibuang ke Babilonia, bersama dengan sepuluh ribu warga yang selama ini telah membuat negara Yehuda mampu bertahan hidup: para imam, pemimpin militer, ahli pertukangan, dan pandai besi. Tatkala mereka akan meninggalkan Yerusalem, kaum buangan itu kiranya masih sempat menoleh untuk melihat terakhir kalinya Bait Allah yang dibangun diatas Bukit Sion oleh Raja Salomo alias Nabi Sulaiman alaihissalam pada sekitar 970-930 SM; Bait Allah itulah yang menjadi pusat ousat kehidupan nasional dan spiritual mereka selama ini; tetapi sekarang mereka menjadi sedih karena sadar bahwa mereka tidak akan pernah bisa melihatnya lagi. Dan ternyata, apa yang mereka takutkan itu menjadi kenyataan: pada 596 SM, setelah mucul sebuah pemberontakan lagi di Yehuda, Nebukadnezar menghancurkan Yerusalem dan membakar Bait Allah hingga rata dengan tanah.


Kaum buangan itu sesungguhnya tidak diperlakukan dengan buruk di Babel. Sang Raja diberi fasilitas perumahan yang nyaman, lengkap dengan rombongan para pengiringnya di sebelah selatan benteng kota, dan kaum buangan yang lain tinggal bersama-sama di sebuah permukiman baru di tepi kanal dan mereka pun diizinkan untuk mengelola urusan rumah tangga mereka sendiri. Tetapi, mereka telah kehilangan negara, kemerdekaan politis dan agama mereka. Mereka itu termasuk bangsa Israel dan percaya bahwa Yahweh Tuhan mereka telah berjanji bahwa jika mereka hanya menyembah Dia semata-mata, mereka akan hidup di negeri mereka untuk selama-lamanya. Bait Allah Yerusalem, dimana Yajweh telah sudi berdiam diantara umat-Nya, adalah sesuatu yang sangat penting dalam kultus pemujaan akan Yahweh itu. Tetapi, kini mereka berada di sebuah negeri yang asing, dan jauh dari Yahweh itu sendiri.

Lima tahun setelah tiba di Babilonia, seraya berdiri di tepi Sungai Kebar, seorang imam muda bernama Yehezkiel mengalami sebuah penglihatan yang dahsyat dan mengerikan. Tidaklah mungkin untuk dapat melihat sesuatu secara jelas karena tidak ada sesuatu pun di dalam pusaran badai api dahsyat dan suara gemuruh ini yang sesuai dengan kategori-kaegori pengalaman manusia biasa, dan Yehezkiel pun tahu bahwa dia sedang berada di dalam kehadiran kavod (kabod), yaitu ‘kemuliaan’ Yahweh, yang biasanya berkata di ruang bagian dalam yang mahakudus dari Bait Allah itu. Allah telah meninggalkan Yerusalem dan, dengan mengendarai apa yang tampak seperti sebuah kereta perang berukuran raksasa, telah datang untuk berdiam bersama kaum buangan di Babilonia. Lalu, ada sebuah tangan terentang ke arah Yehezkiel yangs edang memegang sebuah gulungan kitab, yang di dalamnya penuh ditulisi dengan “nyanyia-nyanyian ratapan, keluh kesah, dan rintihan” (Yehezkiel 2:10). “... makanlah gulungan kitab yang kuberikan ini kepadamu dan isilah perutmu dengan itu.” Ketika dia memaksakan diri untuk menelannya, seraya menerima dan mengalami kepedihan dan kemalangan nasibnya sebagai orang buangan, Yehezkiel pun tahu bahwa hal itu “rasanya manus seperti madu dalam mulutku.”

Itu adalah detik-detik yang mengandung nubuat kenabian. Kaum buangan masih akan tetap merindukan Bait Allah mereka yang hilang, karena kawasan Timur Tengah pada saat itu, tidaklah mungkin membayangkan agama tanpa Bait Allah. Laksana gulungan kitab yang ditelan Yehezkiel, pesannya pun sering tampak menyusahkan dan membingungkan. Tetapi, ketika mereka berupaya keras untuk meresapi dan memahami teks tersebut, mereka akan merasa bahwa mereka telah masuk ke dalam hadirat Allah-sebagaimana yang dahulu mereka alami dan rasakan ketika mengunjungi tempat suci-Nya di Yerusalem.


 Namun memerlukan waktu hingga bertahun-tahun sebelum Yahwisme menjadi sebuah agama kitab. Kaum buangan telah membawa serta sejumlah gulungan kitab dari arsip-arsip istana kerajaan di Yerusalem bersama mereka ke Babilonia, dan disana mereka mempelajarinya dan meng-edit dokumen-dokumen ini. Jika mereka diizinkan kembali ke kampung halamannya kelak, catatan-catatan sejarah dan kultus dari rakyat mereka ini akan memainkan peranan penting dalam upaya pemulihan dan pembangunan kembali kehidupan berbangsa mereka. Awalnya para ahli penulis kitab tidak memandang tulisan dalam dokumen-dokumen ini adalah sesuatu yang keramat, sehingga mereka merasa bebas untuk menambah-kurangi teks dan tulisan agar cocok dengan situasi mereka yang berubah-ubah.  Hal ini dikarenakan oleh saat itu mereka belum memiliki gagasan mengenai teks suci. Orang Israel, layaknya orang di zaman itu, selalu mewariskan tradisi-tradisi mereka secara lisan (dari mulut ke mulut). Pada masa-masa awal dari hidup kebangsaan mereka, yaitu sekitar 1200 SM, mereka hidup dalam 12 kesukuan di dataran tinggi Kanaan, walaupun begitu mereka yakin dan percaya bahwa ke-12 suku ini memiliki sejarah dan leluhur yang sama. Pada tahap yang sangat dini ini, Umat Israel sudah mempunyai pandangan religius yang khas. Sebagian besar orang dizaman itu mengembangkan sebuah mitologi dan liturgi yang berpusat pada dunia para dewa pada awal mula dahulu, tetapi orang Israel memusatkan kehidupan mereka kepada Yahweh di dunia ini.

Dari fragmen-fragmen semula yang terendap dalam kisah-kisah biblis yang lebih kemudian, dapat disimpulkan bahwa orang Israel percara para leluhur mereka adalah bangsa nomaden. Yahweh telah menuntun mereka ke Kanaan, dan berjanji bahwa kelak kaum keturunan mereka akan memiliki tanah itu. Selama bertahun-tahun mereka menjadi budak di Mesir dan mengalami penyiksaan yang sangat berat, sebelum akhirnya Yahweh, lewat tangan Musa, menyelamatkan mereka dengan melakukan banyak tanda dan keajaiban, serta menuntun mereka untuk kembali ke Tanah Terjanji. Tetapi, saat itu belum ada kisah utama: masing-masing wilayah memiliki pahlawan lokal yang khas. Para imam di Dan, wilayah utara yang paling jauh, misalnya, percaya bahwa mereka berasal dari Musa; Abraham, bapa seluruh bangsa, telah tinggal di Hebron dan secara khusus dia populer di daerah selatan. Di Gilgal, suku-suku setempat merayakan masuknya Israel secara ajaib dan mengagumkan ke Tanah Terjanji, yaitu tatkala air Sungai Yordan secara ajaib terbelah menjadi dua sehingga mereka bisa menyebrang. Orang di Sikhem membuat pembaharuan setiap tahun terhadap perjanjian antara Yoshua dengan Yahweh setelah dia berhasil menaklukan Kanaan.

 Namun, kira-kira pada 1000 SM, sistem kesukuan tersebut sudah tidak lagi memadai; karena itu, orang Israel pun membentuk dua kerajaan di Kanaan, yaitu kerajaan Yehuda di selatan dan kerajaan Israel yang lebih besar di utara. Dari sini dimulailah penghapusan pesta-pesta ala Perjanjian Lama, dan para masyarakat lebih memilih peng-kultusan kepada para raja masing-masing. Yang mengagumkan adalah, pada saat pemahkotaannya, raja diangkat oleh Yahweh menjadi seoarang ‘anak Allah’ dan anggota Dewan Illahi Yahweh yang terdiri atas para penghuni surgawi. Kita hampir tidak tahu apa-apa tentang upacara suci (kultus) kerajaan utara karena para sejarahwan biblis lebih condong kepada pembahasan kerajaan Yehuda, tetapi banyak yang dari mazmur yang kemudian dimasukkan ke dalam Alkitab dahulunya dipergunakan dalam liturgi Yerusalem dan memperlihatkan bahwa orang-orang Yehuda dulu sesungguhnya juga dipengaruhi oleh kultus Baal dari daerah-daerah tetangga di Syria, yang juga mempunyai mitologi kerajaan serupa. Yahweh telah membuat sebuah perjanjian yang tidak bersyarat dengan Raja David alias Nabi Daud alaihissalam, pendiri Dinasti Yudea, dan telah berjanji bahwa kaum keturunannya akan memerintah di Yerusalem untuk selama-lamanya.

Demikian untuk seri 1 Bab Taurat kali ini, semoga dapat menjadi pembuka bagi tulisan saya berikutnya dan mampu menjadi pengantar historis bagi seri-seri selanjutnya.

Sebagai bocoran, untuk seri selanjutnya saya akan masuk ke sejarah Taurat saat sudah ‘menjadi’ Kitab Suci, dan bagaiamana perkembangan perubahan yang terjadi hingga masa-masa transisi ke zaman Nashrani awal.

Minggu, 12 Januari 2014

Sejarah Alkitab I - Prolog


Assalamualaykum....

Setelah sekian lama absen dalam kegiatan tulis-menulis di blog ini, kali ini saya kembali menemukan hasrat menulis saya setelah lama berkutat dengan buku Karen Armstrong yang berjudul SEJARAH ALKITAB. Dalam bukunya tersebut, Armstrong benar-benar menyajikan sebuah pemahaman dan sejarah yang jarang, bahkan hampir tidak pernah, kita temui dalam buku-buku lainnya. Dalam buku tersebut Armstrong mendiskusikan kelahiran, perkembangan, dan sejarah hidup kitab paling terkenal ini. Telaah historis yang dilakukannya mampu membuat saya berimajinasi tentang zaman permulaan Nasrhani. Sebuah tulisan yang bagi saya pribadi sangat netral dan akuntabel, baik dari segi sejarah, fakta maupun analisa perseorangan.

Jadi, silahkan siapkan cemilan dan kopi anda, mari kita menjelajahi sejarah Kitab yang paling banyak dibaca di seluruh dunia, mungkin ini akan saya sajikan secara berseri, mengingat dalam setiap bab di buku tersebut, menyajikan tulisan yang sangat panjang dan dalam, jadi In Syaa Allah, saya akan kupas satu persatu, dilengkapi (ditambahi) dengan pandangan saya pribadi sekaligus pemahaman saya terhadap tulisan Armstrong dalam setiap bab.
Welcome back again in Der Wissen........



·       PROLOG
Kitab Suci merupakan unsur penting dalam usaha dan hidup keagamaan. Dalam hampir semua agama besar, orang memandang teks tertentu sebagai teks suci dan secara ontologis berbeda dengan dokumen-dokumen lainnya. Mereka telah memberi bobot terhadap tulisan-tulisan ini dengan muatan cita-cita mereka yang tertinggi, harapan yang paling luar biasa, dan ketakutan yang paling dalam; ajaibnya lagi, sebagai imbalannya, teks-teks itupun telah memberi mereka sesuatu. Para pembaca menemukan di dalam tulisan-tulisan ini apa yang tampaknya seperti sebuah kehadiran, yang telah mengantar mereka ke suatu dimensi yang transenden. Mereka telah melandaskan hidup mereka pada kitab suci, baik secara praktis maupun spiritual, dan juga secara normal. Ketika teks-teks suci mereka menceritakan kisah-kisah, umumnya dipercaya bahwa itu benar, tetapi sampai baru-baru ini keakuratan harafiah atau historis belum menajdi sesuatu yang penting. Kitab suci kaum Buddha misalnya, memberi para pembaca informasi tentang kehidupan Buddha, tetapi kitab itu hanya mencakup peristiwa-peristiwa yang memperlihatkan kepada kaum Buddha apa yang harus mereka lakukan untuk mencapai pencerahan mereka sendiri.

Dewasa ini, kitab suci mempunyai nama atau citra yang buruk. Teroris memakai Al-Quran untuk membenarkan kekejamannya; sementara orang menuduh narasi kekerasan yang terkandung dalam kitab suci mereka menyebabkan kaum Muslim terus menerus agresif. Orang Kristiani menyerang ajaran teori evolusi karena teori tersebut bertentangan dengan teori penciptaan biblis. Orang Yahudi lain lagi, oleh karena Allah telah menjanjikan Kanaan (orang Israel modern) bagi keturunan Abraham, maka kebijakan opresif melawan orang-orang Palestina adalah sah-sah saja. Telah terjadi kebangkitan kembali kitab suci yang mengganggu kehidupan publik. Para penentang agama yang berhaluan sekuler mengatakan kitab suci justru membiakkan kekerasan, sektarianisme, dan in-toleransi; ia (kitab suci) mencegah orang orang untuk berpikir mandiri, dan mendorong munculnya khayalan. Kalau agama mewartakan belas kasih, mengapa ada sedemikian banyak kebencian di dalam teks-teks suci? Mungkinkah untuk tetap menjadi “orang beriman” dewasa ini sementara sains justru menggerogoti sedemikian banyak ajaran biblis.

Karena kitab suci telah menjadi persoalan yang sedemikian mendesak, Armstrong memandang perlunya pemahaman yang lebih mendalam tentang kitab suci itu sendiri. Bukan hanya sekedar definisi, tapi juga seajrah dan perkembangannya hingga dizaman modern ini. Bagi Armstrong sangat penting, misalnya, untuk mencatat penafsiran yang sangat harafiah atas Alkitab adalah sebuah perkembangan baru. Sampai abad ke-19, sangat sedikit orang membayangkan bahwa bab pertama Kitab Kejadian merupakan kisah yang sesungguhnya mengenai asal-usul kehidupan. Selama berabad-abad, orang-orang Yahudi dan Kristian sangat menyukai eksegese yang bercorak alegoris dan inventif, seraya menandaskan bahwa pembacaan yang harafiah atas Alkitab adalah tidak mungkin dan juga tidak diinginkan. Mereka juga telah menulis kembali sejarah biblis, menggantikan kisah-kisah Alkitab dengan mitos-mitos baru, dan menafsirkan bab pertama Kitab Kejadian dengan cara-cara yang sangat berbeda dan mengagumkan, ini dibahas oleh Armstrong dengan sangat cermat, berkaca dari referensi dan catatan-catatan kuno tentang eksegese Injil itu sendiri.


Kitab suci Yahudi dan Perjanjian Baru sama-sama dimulai sebagai pewartaan lisan; bahkan setelah ditulis pun sering kali ada prasangka terhadap sabda yang terucap, yang juga hadir, atau ada dalam tradisi-tradisi yang lain. Sudah sejak semula, orang takut bahwa kitab suci yang tertulis justru bisa memunculkan kekakuan dan kepastian yang tidak realistis dan berlebihan. Pengetahuan keagamaan tidak bisa ditanamkan seperti halnya informasi yang lain, misalnya membaca sekilas halaman-halaman dari kitab suci tersebut. Pada mulanya dokumen-dokumen itiu menjadi “kitab suci” bukan karena mereka dibayangkan sebagai teks-teks yang diilhami secara ilahi,melainkan karena orang mulai memperlakukan mereka secara berbeda. Tentu saja ini benar menyangkut teks-teks awal dari Alkitab, yang baru menajdi suci ketika didekati dalam konteks ritual; konteks itulah yang membuat mereka terpisah dari kehidupan biasa dan cara-cara berpikir sekuler.

Orang Yahudi dan Kristiani memperlakukan kitab suci mereka dengan sebuah penghormatan seremonial. Gulungan Kitab Taurat merupakan benda paling suci di dalam sinagong; gulungan itu dibungkus dalam bungkusan berharga, lalu disimpian dalam sebuah ‘tabut’, ia barulah disingkapkan pada puncak perayaan liturgi, pada saat itulah gulungan tadi diedarkan berkeliling kepada jemaaat yang hadir. Mereka pun menyentuhnya dengan jumbai-jumbai dari selendang doa mereka. Beberapa orang Yahudi bahkan menari dengan gulungan itu, seraya memeluknya laksana sebuah benda yang sangat dikasihi. Orang Katolik juga membawa Alkitab di dalam perarakan suci, men-dupa-inya juga dengan kemenyan yang harum semerbak mewangi, dan mereka akan berdiri jika teks tersebut dibacakan, seraya membuat tanda salib di kening, bibir dan dibagian tengah dada mereka. Dalam komunitas Protestan, pembacaan Alkitab merupakan titik puncak dari upacara kebaktian suci. Tetapi bahkan yang lebih penting ialah tata tertib spiritual yang mencakup berbagai hal. Sudah sejak semula Alkitab tidak hanya mempunyai satu pesan tunggal. Ketika para editor menetapkan kanon dari perjanjian Yahudi maupun Kristiani, mereka menggabungkan di dalamnya pandangan-pandangan di dalamnya yang saling bersaing dan menempatkan mereka, tanpa keterangan apapun, yang satu dismaping yang lain. Menurut istilah yang saya baca di buku karangan Frank Moore Cross yang berjudul Canaanite Myth and Hebrew, ini menjadi semacam persaingan terbuka antara Kristiani awal dengan Yahudi, jadi sudah sejak semula pengarang biblis merasa bebas untuk merevisi teks-teks yang telah mereka warisi dan memaknai teks-teks itu secara lain sama sekali. Lebih jauh, para ekseget memandang, bahwa Alkitab adalah sebagai sebuah papan model bagi masalah-masalah di zaman mereka.




Alkitab itu ‘terbukti’ suci adanya karena orang terus-menerus menemukan cara-cara baru untuk menafsirkannya dan mereka juga menemukan bahwa serangkaian dokumen-dokumen yang sulit dan sudah berusia tua ini justru bisa memancarkan terang pada situasi-situasi yang bahkan tidak pernah dibayangkan oleh orang-orang yang mengarang teks-teks itu dahulu. Sebagaiaman yang kita lihat, orang Yahudi dan Kristiani mengembangkan sebuah metode studi Alkitab yang mengaitkan satu sama lain teks-teks yang tidak mempunyai kaitan intrinsik apapun. Dengan terus-menerus merobohkan aral pelintang perbedaan tekstual, mereka pun bisa mencapai coincidentia oppositurum ekstatik, suatu pengalaman yang juga hadir di dalam tradisi-tradisi skriptural yang lain. Ketika orang Yahudi dan Kristiani mencoba menemukan kesatuan di dalam kitab suci mereka yang paradoksal dan bermacam-macam, mereka juga mempunyai intuisi akan kesatuan ilahi.


Semula, orang Israel telah mencapai keadaan ekstasis ini di dalam Bait Allah di Yerusalem, yang memang dirancang sebagai sebuah replika simbolis Taman Eden. Disana mereka mengalami shalom, sebuah kata yang biasanya diterjemahkan sebagai ‘damai’, tetapi sebenarnya, menurut Armstrong, lebih baik diterjemahkan sebagai ‘keseluruhan’ atau ‘keutuhan’. Ketika Bait Allah mereka sudah dihancurkan, mereka pun harus mencoba mencari sebuah cara baru untuk menemukan shalom itu dalam dunia yang tragis dan keras. Dua kali Bait Allah mereka dibakar hingga rata dengan tanah; dan setiap kali peristiwa penghancurannya itu mengarah ke sebuah kurun aktivitas pembacaan Alkitab yang sangat bersemangat, tatkala mereka mengupayakan penyembuhan dan harmoni di dalam dokumen-dokumen yang kelak akan menjadi Alkitab.



Nah, semoga dengan prolog ini, para pembaca bisa mendapat sedikit panduan dan pemahaman historis sebalum kita benar-benar masuk dalam pembahasan Alkitab nanti. Mudah-mudahan, tulisan diatas mampu menjadi pengantar di sekuel tulisan saya berikutnya.....