Assalamualaykum....
Setelah sekian lama
absen dalam kegiatan tulis-menulis di blog ini, kali ini saya kembali menemukan
hasrat menulis saya setelah lama berkutat dengan buku Karen Armstrong yang berjudul SEJARAH
ALKITAB. Dalam bukunya tersebut, Armstrong benar-benar menyajikan sebuah
pemahaman dan sejarah yang jarang, bahkan hampir tidak pernah, kita temui dalam
buku-buku lainnya. Dalam buku tersebut Armstrong mendiskusikan kelahiran,
perkembangan, dan sejarah hidup kitab paling terkenal ini. Telaah historis yang
dilakukannya mampu membuat saya berimajinasi tentang zaman permulaan Nasrhani.
Sebuah tulisan yang bagi saya pribadi sangat netral dan akuntabel, baik dari
segi sejarah, fakta maupun analisa perseorangan.
Jadi, silahkan siapkan
cemilan dan kopi anda, mari kita menjelajahi sejarah Kitab yang paling banyak
dibaca di seluruh dunia, mungkin ini akan saya sajikan secara berseri,
mengingat dalam setiap bab di buku tersebut, menyajikan tulisan yang sangat
panjang dan dalam, jadi In Syaa Allah,
saya akan kupas satu persatu, dilengkapi (ditambahi) dengan pandangan saya
pribadi sekaligus pemahaman saya terhadap tulisan Armstrong dalam setiap bab.
Welcome back again in Der Wissen........
· PROLOG
Kitab
Suci merupakan unsur penting dalam usaha dan hidup keagamaan. Dalam hampir
semua agama besar, orang memandang teks tertentu sebagai teks suci dan secara
ontologis berbeda dengan dokumen-dokumen lainnya. Mereka telah memberi bobot
terhadap tulisan-tulisan ini dengan muatan cita-cita mereka yang tertinggi,
harapan yang paling luar biasa, dan ketakutan yang paling dalam; ajaibnya lagi,
sebagai imbalannya, teks-teks itupun telah memberi mereka sesuatu. Para pembaca
menemukan di dalam tulisan-tulisan ini apa yang tampaknya seperti sebuah
kehadiran, yang telah mengantar mereka ke suatu dimensi yang transenden. Mereka
telah melandaskan hidup mereka pada kitab suci, baik secara praktis maupun
spiritual, dan juga secara normal. Ketika teks-teks suci mereka menceritakan
kisah-kisah, umumnya dipercaya bahwa itu benar, tetapi sampai baru-baru ini
keakuratan harafiah atau historis belum menajdi sesuatu yang penting. Kitab suci
kaum Buddha misalnya, memberi para pembaca informasi tentang kehidupan Buddha,
tetapi kitab itu hanya mencakup peristiwa-peristiwa yang memperlihatkan kepada
kaum Buddha apa yang harus mereka lakukan untuk mencapai pencerahan mereka
sendiri.
Dewasa
ini, kitab suci mempunyai nama atau citra yang buruk. Teroris memakai Al-Quran
untuk membenarkan kekejamannya; sementara orang menuduh narasi kekerasan yang
terkandung dalam kitab suci mereka menyebabkan kaum Muslim terus menerus
agresif. Orang Kristiani menyerang ajaran teori evolusi karena teori tersebut
bertentangan dengan teori penciptaan biblis. Orang Yahudi lain lagi, oleh
karena Allah telah menjanjikan Kanaan (orang Israel modern) bagi keturunan
Abraham, maka kebijakan opresif melawan orang-orang Palestina adalah sah-sah
saja. Telah terjadi kebangkitan kembali kitab suci yang mengganggu kehidupan
publik. Para penentang agama yang berhaluan sekuler mengatakan kitab suci
justru membiakkan kekerasan, sektarianisme, dan in-toleransi; ia (kitab suci) mencegah orang
orang untuk berpikir mandiri, dan mendorong munculnya khayalan. Kalau agama
mewartakan belas kasih, mengapa ada sedemikian banyak kebencian di dalam
teks-teks suci? Mungkinkah untuk tetap menjadi “orang beriman” dewasa ini
sementara sains justru menggerogoti sedemikian banyak ajaran biblis.
Karena
kitab suci telah menjadi persoalan yang sedemikian mendesak, Armstrong
memandang perlunya pemahaman yang lebih mendalam tentang kitab suci itu
sendiri. Bukan hanya sekedar definisi, tapi juga seajrah dan perkembangannya
hingga dizaman modern ini. Bagi Armstrong sangat penting, misalnya, untuk
mencatat penafsiran yang sangat harafiah atas Alkitab adalah sebuah perkembangan
baru. Sampai abad ke-19, sangat sedikit orang membayangkan bahwa bab pertama
Kitab Kejadian merupakan kisah yang sesungguhnya mengenai asal-usul kehidupan. Selama
berabad-abad, orang-orang Yahudi dan Kristian sangat menyukai eksegese yang
bercorak alegoris dan inventif, seraya menandaskan bahwa pembacaan yang
harafiah atas Alkitab adalah tidak mungkin dan juga tidak diinginkan. Mereka juga
telah menulis kembali sejarah biblis, menggantikan kisah-kisah Alkitab dengan
mitos-mitos baru, dan menafsirkan bab pertama Kitab Kejadian dengan cara-cara
yang sangat berbeda dan mengagumkan, ini dibahas oleh Armstrong dengan sangat
cermat, berkaca dari referensi dan catatan-catatan kuno tentang eksegese Injil
itu sendiri.
Kitab suci Yahudi dan
Perjanjian Baru sama-sama dimulai sebagai pewartaan lisan; bahkan setelah
ditulis pun sering kali ada prasangka terhadap sabda yang terucap, yang juga
hadir, atau ada dalam tradisi-tradisi yang lain. Sudah sejak semula, orang takut
bahwa kitab suci yang tertulis justru bisa memunculkan kekakuan dan kepastian
yang tidak realistis dan berlebihan. Pengetahuan keagamaan tidak bisa
ditanamkan seperti halnya informasi yang lain, misalnya membaca sekilas
halaman-halaman dari kitab suci tersebut. Pada mulanya dokumen-dokumen itiu
menjadi “kitab suci” bukan karena mereka dibayangkan sebagai teks-teks yang
diilhami secara ilahi,melainkan karena orang mulai memperlakukan mereka secara
berbeda. Tentu saja ini benar menyangkut teks-teks awal dari Alkitab, yang baru
menajdi suci ketika didekati dalam konteks ritual; konteks itulah yang membuat
mereka terpisah dari kehidupan biasa dan cara-cara berpikir sekuler.
Orang Yahudi dan
Kristiani memperlakukan kitab suci mereka dengan sebuah penghormatan
seremonial. Gulungan Kitab Taurat merupakan benda paling suci di dalam
sinagong; gulungan itu dibungkus dalam bungkusan berharga, lalu disimpian dalam
sebuah ‘tabut’, ia barulah disingkapkan pada puncak perayaan liturgi, pada saat
itulah gulungan tadi diedarkan berkeliling kepada jemaaat yang hadir. Mereka pun
menyentuhnya dengan jumbai-jumbai dari selendang doa mereka. Beberapa orang
Yahudi bahkan menari dengan gulungan itu, seraya memeluknya laksana sebuah
benda yang sangat dikasihi. Orang Katolik juga membawa Alkitab di dalam
perarakan suci, men-dupa-inya juga dengan kemenyan yang harum semerbak mewangi,
dan mereka akan berdiri jika teks tersebut dibacakan, seraya membuat tanda
salib di kening, bibir dan dibagian tengah dada mereka. Dalam komunitas
Protestan, pembacaan Alkitab merupakan titik puncak dari upacara kebaktian
suci. Tetapi bahkan yang lebih penting ialah tata tertib spiritual yang mencakup
berbagai hal. Sudah sejak semula Alkitab tidak hanya mempunyai satu pesan
tunggal. Ketika para editor menetapkan kanon dari perjanjian Yahudi maupun
Kristiani, mereka menggabungkan di dalamnya pandangan-pandangan di dalamnya
yang saling bersaing dan menempatkan mereka, tanpa keterangan apapun, yang satu
dismaping yang lain. Menurut istilah yang saya baca di buku karangan Frank Moore
Cross yang berjudul Canaanite Myth and
Hebrew, ini menjadi semacam persaingan terbuka antara Kristiani awal dengan
Yahudi, jadi sudah sejak semula pengarang biblis merasa bebas untuk merevisi
teks-teks yang telah mereka warisi dan memaknai teks-teks itu secara lain sama
sekali. Lebih jauh, para ekseget memandang, bahwa Alkitab adalah sebagai sebuah papan
model bagi masalah-masalah di zaman mereka.
Alkitab itu ‘terbukti’
suci adanya karena orang terus-menerus menemukan cara-cara baru untuk
menafsirkannya dan mereka juga menemukan bahwa serangkaian dokumen-dokumen yang
sulit dan sudah berusia tua ini justru bisa memancarkan terang pada
situasi-situasi yang bahkan tidak pernah dibayangkan oleh orang-orang yang
mengarang teks-teks itu dahulu. Sebagaiaman yang kita lihat, orang Yahudi dan
Kristiani mengembangkan sebuah metode studi Alkitab yang mengaitkan satu sama
lain teks-teks yang tidak mempunyai kaitan intrinsik apapun. Dengan terus-menerus
merobohkan aral pelintang perbedaan tekstual, mereka pun bisa mencapai coincidentia oppositurum ekstatik, suatu
pengalaman yang juga hadir di dalam tradisi-tradisi skriptural yang lain. Ketika
orang Yahudi dan Kristiani mencoba menemukan kesatuan di dalam kitab suci
mereka yang paradoksal dan bermacam-macam, mereka juga mempunyai intuisi akan
kesatuan ilahi.
Semula, orang Israel
telah mencapai keadaan ekstasis ini
di dalam Bait Allah di Yerusalem, yang memang dirancang sebagai sebuah replika
simbolis Taman Eden. Disana mereka mengalami shalom, sebuah kata yang biasanya diterjemahkan sebagai ‘damai’,
tetapi sebenarnya, menurut Armstrong, lebih baik diterjemahkan sebagai ‘keseluruhan’
atau ‘keutuhan’. Ketika Bait Allah mereka sudah dihancurkan, mereka pun harus
mencoba mencari sebuah cara baru untuk menemukan shalom itu dalam dunia yang tragis dan keras. Dua kali Bait Allah
mereka dibakar hingga rata dengan tanah; dan setiap kali peristiwa
penghancurannya itu mengarah ke sebuah kurun aktivitas pembacaan Alkitab yang
sangat bersemangat, tatkala mereka mengupayakan penyembuhan dan harmoni di dalam
dokumen-dokumen yang kelak akan menjadi Alkitab.
Nah, semoga dengan
prolog ini, para pembaca bisa mendapat sedikit panduan dan pemahaman historis
sebalum kita benar-benar masuk dalam pembahasan Alkitab nanti. Mudah-mudahan, tulisan
diatas mampu menjadi pengantar di sekuel tulisan saya berikutnya.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar