Assalamualaykum...
Setelah pada tulisan
saya sebelumnya telah saya sampaikan pengantar tentang sebuah makna Kitab Suci
dan mukadimahnya, kini kita akan memasuki sejarah Kitab Suci tertua di antara 3
agama Samawi. Ya, TAURAT akan kita kupas disini, mulai dari sejarah awal dan
perkembangannya. Tentu saja dengan berbagai kisah yang berhasil dirangkum oleh
Karen Armstrong dalam bukunya tersebut.
Agak seru memang,
ketika kita mengikuti sedari awal bagaiamana sejarah Taurat. Bila kita (umat
Islam) hanya mengenal Moses alias Nabi Musa alaihissalam
sebagai penyebar Taurat, maka bersama Armstrong kita bisa lebih banyak tahu
mengenai tokoh-tokoh lama Bani Israel yang ikut dalam ekspedisi Sungai Nil
bersama Musa.
So, mari siapkan
cemilan dan kopi anda...
Welcome to Der Wissen......................
Pada 597 SM, sebuah
negara kecil bernama Yehuda di dataran tinggi Kanaan memutuskan perjanjian
dalam statusnya sebagai raja bawahan dengan Nebukadnezar, raja agung dari
Kekaisaran Babilonia yang sangat kuat. Itu adalah sebuah kekeliruan yang
mendatangkan bencana amat besar. Tiga bulan kemudian, bala tentara Babilonia datang
meyerbu Yerusalem, ibu kota Yehuda. Sang Raja muda serta merta menyerah dan
diapun dibuang ke Babilonia, bersama dengan sepuluh ribu warga yang selama ini
telah membuat negara Yehuda mampu bertahan hidup: para imam, pemimpin militer,
ahli pertukangan, dan pandai besi. Tatkala mereka akan meninggalkan Yerusalem,
kaum buangan itu kiranya masih sempat menoleh untuk melihat terakhir kalinya
Bait Allah yang dibangun diatas Bukit Sion oleh Raja Salomo alias Nabi Sulaiman
alaihissalam pada sekitar 970-930 SM;
Bait Allah itulah yang menjadi pusat ousat kehidupan nasional dan spiritual
mereka selama ini; tetapi sekarang mereka menjadi sedih karena sadar bahwa
mereka tidak akan pernah bisa melihatnya lagi. Dan ternyata, apa yang mereka
takutkan itu menjadi kenyataan: pada 596 SM, setelah mucul sebuah pemberontakan
lagi di Yehuda, Nebukadnezar menghancurkan Yerusalem dan membakar Bait Allah
hingga rata dengan tanah.
Kaum buangan itu
sesungguhnya tidak diperlakukan dengan buruk di Babel. Sang Raja diberi
fasilitas perumahan yang nyaman, lengkap dengan rombongan para pengiringnya di
sebelah selatan benteng kota, dan kaum buangan yang lain tinggal bersama-sama
di sebuah permukiman baru di tepi kanal dan mereka pun diizinkan untuk
mengelola urusan rumah tangga mereka sendiri. Tetapi, mereka telah kehilangan
negara, kemerdekaan politis dan agama mereka. Mereka itu termasuk bangsa Israel
dan percaya bahwa Yahweh Tuhan mereka telah berjanji bahwa jika mereka hanya
menyembah Dia semata-mata, mereka akan hidup di negeri mereka untuk
selama-lamanya. Bait Allah Yerusalem, dimana Yajweh telah sudi berdiam diantara
umat-Nya, adalah sesuatu yang sangat penting dalam kultus pemujaan akan Yahweh
itu. Tetapi, kini mereka berada di sebuah negeri yang asing, dan jauh dari
Yahweh itu sendiri.
Lima tahun setelah tiba
di Babilonia, seraya berdiri di tepi Sungai Kebar, seorang imam muda bernama
Yehezkiel mengalami sebuah penglihatan yang dahsyat dan mengerikan. Tidaklah
mungkin untuk dapat melihat sesuatu secara jelas karena tidak ada sesuatu pun
di dalam pusaran badai api dahsyat dan suara gemuruh ini yang sesuai dengan
kategori-kaegori pengalaman manusia biasa, dan Yehezkiel pun tahu bahwa dia
sedang berada di dalam kehadiran kavod
(kabod), yaitu ‘kemuliaan’ Yahweh, yang biasanya berkata di ruang bagian
dalam yang mahakudus dari Bait Allah
itu. Allah telah meninggalkan Yerusalem dan, dengan mengendarai apa yang tampak
seperti sebuah kereta perang berukuran raksasa, telah datang untuk berdiam
bersama kaum buangan di Babilonia. Lalu, ada sebuah tangan terentang ke arah
Yehezkiel yangs edang memegang sebuah gulungan kitab, yang di dalamnya penuh
ditulisi dengan “nyanyia-nyanyian
ratapan, keluh kesah, dan rintihan” (Yehezkiel 2:10). “... makanlah gulungan kitab yang kuberikan ini kepadamu dan isilah
perutmu dengan itu.” Ketika dia memaksakan diri untuk menelannya, seraya
menerima dan mengalami kepedihan dan kemalangan nasibnya sebagai orang buangan,
Yehezkiel pun tahu bahwa hal itu “rasanya
manus seperti madu dalam mulutku.”
Itu adalah detik-detik
yang mengandung nubuat kenabian. Kaum buangan masih akan tetap merindukan Bait
Allah mereka yang hilang, karena kawasan Timur Tengah pada saat itu, tidaklah
mungkin membayangkan agama tanpa Bait Allah. Laksana gulungan kitab yang
ditelan Yehezkiel, pesannya pun sering tampak menyusahkan dan membingungkan. Tetapi,
ketika mereka berupaya keras untuk meresapi dan memahami teks tersebut, mereka
akan merasa bahwa mereka telah masuk ke dalam hadirat Allah-sebagaimana yang
dahulu mereka alami dan rasakan ketika mengunjungi tempat suci-Nya di
Yerusalem.
Namun memerlukan waktu
hingga bertahun-tahun sebelum Yahwisme menjadi sebuah agama kitab. Kaum buangan
telah membawa serta sejumlah gulungan kitab dari arsip-arsip istana kerajaan di
Yerusalem bersama mereka ke Babilonia, dan disana mereka mempelajarinya dan
meng-edit dokumen-dokumen ini. Jika mereka diizinkan kembali ke kampung
halamannya kelak, catatan-catatan sejarah dan kultus dari rakyat mereka ini
akan memainkan peranan penting dalam upaya pemulihan dan pembangunan kembali
kehidupan berbangsa mereka. Awalnya para ahli penulis kitab tidak memandang
tulisan dalam dokumen-dokumen ini adalah sesuatu yang keramat, sehingga mereka
merasa bebas untuk menambah-kurangi teks dan tulisan agar cocok dengan situasi
mereka yang berubah-ubah. Hal ini
dikarenakan oleh saat itu mereka belum memiliki gagasan mengenai teks suci. Orang
Israel, layaknya orang di zaman itu, selalu mewariskan tradisi-tradisi mereka
secara lisan (dari mulut ke mulut). Pada masa-masa awal dari hidup kebangsaan
mereka, yaitu sekitar 1200 SM, mereka hidup dalam 12 kesukuan di dataran tinggi
Kanaan, walaupun begitu mereka yakin dan percaya bahwa ke-12 suku ini memiliki
sejarah dan leluhur yang sama. Pada tahap yang sangat dini ini, Umat Israel
sudah mempunyai pandangan religius yang khas. Sebagian besar orang dizaman itu
mengembangkan sebuah mitologi dan liturgi yang berpusat pada dunia para dewa
pada awal mula dahulu, tetapi orang Israel memusatkan kehidupan mereka kepada
Yahweh di dunia ini.
Dari fragmen-fragmen
semula yang terendap dalam kisah-kisah biblis yang lebih kemudian, dapat disimpulkan
bahwa orang Israel percara para leluhur mereka adalah bangsa nomaden. Yahweh
telah menuntun mereka ke Kanaan, dan berjanji bahwa kelak kaum keturunan mereka
akan memiliki tanah itu. Selama bertahun-tahun mereka menjadi budak di Mesir dan
mengalami penyiksaan yang sangat berat, sebelum akhirnya Yahweh, lewat tangan
Musa, menyelamatkan mereka dengan melakukan banyak tanda dan keajaiban, serta
menuntun mereka untuk kembali ke Tanah
Terjanji. Tetapi, saat itu belum ada kisah utama: masing-masing wilayah
memiliki pahlawan lokal yang khas. Para imam di Dan, wilayah utara yang paling
jauh, misalnya, percaya bahwa mereka berasal dari Musa; Abraham, bapa seluruh
bangsa, telah tinggal di Hebron dan secara khusus dia populer di daerah
selatan. Di Gilgal, suku-suku setempat merayakan masuknya Israel secara ajaib
dan mengagumkan ke Tanah Terjanji, yaitu tatkala air Sungai Yordan secara ajaib
terbelah menjadi dua sehingga mereka bisa menyebrang. Orang di Sikhem membuat
pembaharuan setiap tahun terhadap perjanjian antara Yoshua dengan Yahweh
setelah dia berhasil menaklukan Kanaan.
Namun, kira-kira pada
1000 SM, sistem kesukuan tersebut sudah tidak lagi memadai; karena itu, orang Israel
pun membentuk dua kerajaan di Kanaan, yaitu kerajaan Yehuda di selatan dan
kerajaan Israel yang lebih besar di utara. Dari sini dimulailah penghapusan
pesta-pesta ala Perjanjian Lama, dan para masyarakat lebih memilih
peng-kultusan kepada para raja masing-masing. Yang mengagumkan adalah, pada
saat pemahkotaannya, raja diangkat oleh Yahweh menjadi seoarang ‘anak Allah’
dan anggota Dewan Illahi Yahweh yang terdiri atas para penghuni surgawi. Kita hampir
tidak tahu apa-apa tentang upacara suci (kultus) kerajaan utara karena para
sejarahwan biblis lebih condong kepada pembahasan kerajaan Yehuda, tetapi
banyak yang dari mazmur yang kemudian dimasukkan ke dalam Alkitab dahulunya
dipergunakan dalam liturgi Yerusalem dan memperlihatkan bahwa orang-orang
Yehuda dulu sesungguhnya juga dipengaruhi oleh kultus Baal dari daerah-daerah
tetangga di Syria, yang juga mempunyai mitologi kerajaan serupa. Yahweh telah
membuat sebuah perjanjian yang tidak bersyarat dengan Raja David alias Nabi
Daud alaihissalam, pendiri Dinasti Yudea, dan telah berjanji bahwa kaum
keturunannya akan memerintah di Yerusalem untuk selama-lamanya.
Demikian untuk seri 1
Bab Taurat kali ini, semoga dapat menjadi pembuka bagi tulisan saya berikutnya
dan mampu menjadi pengantar historis bagi seri-seri selanjutnya.
Sebagai bocoran, untuk
seri selanjutnya saya akan masuk ke sejarah Taurat saat sudah ‘menjadi’ Kitab
Suci, dan bagaiamana perkembangan perubahan yang terjadi hingga masa-masa
transisi ke zaman Nashrani awal.